Pada saat aku menulis dan membaca kisah ini, air mata ku tidak berhenti untuk dititiskan, betapa indah dan bertuahnya dapat hidup dan menatap wajah kekasih Allah ini. betapa nikmatnya dapat sama-sama berjuang dan merasakan hebatnya menentang musuh-musuh Allah bersama Baginda. Malah paling sayu pilu bila mana kekasih Allah itu dijemput kembali dan para sahabat dapat menatap wajah baginda buat kali terakhir.. wajah yang bakal dirindui buat selama-lamanya..
Suatu malam, jauh setelah peninggalan Rasulullah saw, Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan Baginda Rasulullah.
"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu," demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal.
"Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu," kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu sahaja. Lalu Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gunda gulana. Ia dirundung rindu.
Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara bertebaran, kisah mimpi indah Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tidak perlu menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi bertemu dengan Nabi junjungan yang sangat dirindui.
Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kenangan semasa Baginda Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kelmarin saja Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri melayan kenangan masing masing bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, dirundung pilu oleh kenangan dengan Nabi tercinta.
Menjelang senja, penduduk Madinah seolaholah sepakat, meminta Bilal mengumandangkan azan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar azan yang dikumandangkan Bilal.
Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senja pun datang menghantar malam, dan Bilal mengumandangkan azan.
Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tidak disedari hampir semua penduduk Madinah menitiskan air mata. "Marhaban ya Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan azan setelah Rasulullah wafat.
Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan azan. Jenazah Rasulullah, belum dimakamkan. Satu persatu kalimat azan dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu anna Muhammadarrasulullah."
Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara sang guruh yang hendak membelah langit Madinah. Kemudian sesudah Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk azan. "Azanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar.
Dan Bilal menjawab perintah itu, "Jika engkau dulu membebaskan aku demi kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan azan. Tapi jika demi Allah, kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku."
"Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," bisik Abu Bakar sayu.
"Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal penuh terharu.
"Sungguh, aku tak ingin azan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah," lanjut Bilal.
"Kalau demikian, terserah apa mahumu," jawab Abu Bakar dengan penuh rasa sedih.
***
Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan Ethiopia.
Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, Insya'allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.
Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya. Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.
Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya, Bilal di siksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang membebaskannya dengan sejumlah Wang tebusan.
Boleh dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang tiada tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika berkata, orang yang pertama kali menampak-kan keislamannya adalah Rasulullah. Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh pakcik baginda. Dan Abu Bakar dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela. Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan waliNya, itu lebih cukup dari segalanya.
Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan. Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, ahad," puluhan kali dari bibirnya yang mengeluarkan darah. (Ya Allah aku teresak-esak membayangkan kekuatan Bilal yang tidak berganjak cintanya kepada Allah)
Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak di mata Allah. Ada satu riwayat yang membukti-kan betapa Allah memberikan kedudukan yang mulai di sisi-Nya.
Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah.
"Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."
Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadas, aku langsung berwudhu dan solat sunnah dua rakaat."
"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah. Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budak belian dari Habasya, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.
Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan Umar mengunjunginya. Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan azan sebagai tanda panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas menara dan bergemalah suaranya.
Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di antara mereka, tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.
Begitulah manisnya kenangan dan mahalnya harga sebuah cinta, hinggakan diri sendiri dirasanya turun mati pabila pulangnya Baginda kepangkuan Ilahi...
Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari golongan kamu sendiri (iaitu Nabi Muhammad s.a.w), yang menjadi sangat berat kepadanya sebarang kesusahan yang ditanggung oleh kamu, yang sangat tamak (inginkan) kebaikan bagi kamu, (dan) ia pula menumpahkan perasaan belas serta kasih sayangnya kepada orang-orang yang beriman.
Kemudian jika mereka berpaling ingkar, maka katakanlah (wahai Muhammad): “cukuplah bagiku Allah (yang menolong dan memeliharaku), tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; kepadaNya aku berserah diri, dan Dia lah yang mempunyai Arasy yang besar.”
( At Taubah 128~129)
Ya Allah, seram sejuk diri ini, sebak dada ini.. menitis air mata ini...
Allah.. Ya Rabbana..
Ya Rasulullah, kami merinduimu, mencintaimu.
“Ya Rabbi solli ‘ala Muhammadya Rabbi solli ‘alayhi wassalim, ya Rabbi solli ‘ala Muhammad, ya Rabbi solli ‘alayhi wassalim,”.....
Suatu malam, jauh setelah peninggalan Rasulullah saw, Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan Baginda Rasulullah.
"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu," demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal.
"Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu," kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu sahaja. Lalu Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gunda gulana. Ia dirundung rindu.
Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara bertebaran, kisah mimpi indah Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tidak perlu menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi bertemu dengan Nabi junjungan yang sangat dirindui.
Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kenangan semasa Baginda Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kelmarin saja Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri melayan kenangan masing masing bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, dirundung pilu oleh kenangan dengan Nabi tercinta.
Menjelang senja, penduduk Madinah seolaholah sepakat, meminta Bilal mengumandangkan azan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar azan yang dikumandangkan Bilal.
Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senja pun datang menghantar malam, dan Bilal mengumandangkan azan.
Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tidak disedari hampir semua penduduk Madinah menitiskan air mata. "Marhaban ya Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan azan setelah Rasulullah wafat.
Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan azan. Jenazah Rasulullah, belum dimakamkan. Satu persatu kalimat azan dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu anna Muhammadarrasulullah."
Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara sang guruh yang hendak membelah langit Madinah. Kemudian sesudah Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk azan. "Azanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar.
Dan Bilal menjawab perintah itu, "Jika engkau dulu membebaskan aku demi kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan azan. Tapi jika demi Allah, kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku."
"Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," bisik Abu Bakar sayu.
"Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal penuh terharu.
"Sungguh, aku tak ingin azan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah," lanjut Bilal.
"Kalau demikian, terserah apa mahumu," jawab Abu Bakar dengan penuh rasa sedih.
***
Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan Ethiopia.
Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, Insya'allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.
Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya. Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.
Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya, Bilal di siksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang membebaskannya dengan sejumlah Wang tebusan.
Boleh dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang tiada tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika berkata, orang yang pertama kali menampak-kan keislamannya adalah Rasulullah. Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh pakcik baginda. Dan Abu Bakar dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela. Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan waliNya, itu lebih cukup dari segalanya.
Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan. Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, ahad," puluhan kali dari bibirnya yang mengeluarkan darah. (Ya Allah aku teresak-esak membayangkan kekuatan Bilal yang tidak berganjak cintanya kepada Allah)
Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak di mata Allah. Ada satu riwayat yang membukti-kan betapa Allah memberikan kedudukan yang mulai di sisi-Nya.
Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah.
"Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."
Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadas, aku langsung berwudhu dan solat sunnah dua rakaat."
"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah. Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budak belian dari Habasya, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.
Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan Umar mengunjunginya. Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan azan sebagai tanda panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas menara dan bergemalah suaranya.
Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di antara mereka, tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.
Begitulah manisnya kenangan dan mahalnya harga sebuah cinta, hinggakan diri sendiri dirasanya turun mati pabila pulangnya Baginda kepangkuan Ilahi...
Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang Rasul dari golongan kamu sendiri (iaitu Nabi Muhammad s.a.w), yang menjadi sangat berat kepadanya sebarang kesusahan yang ditanggung oleh kamu, yang sangat tamak (inginkan) kebaikan bagi kamu, (dan) ia pula menumpahkan perasaan belas serta kasih sayangnya kepada orang-orang yang beriman.
Kemudian jika mereka berpaling ingkar, maka katakanlah (wahai Muhammad): “cukuplah bagiku Allah (yang menolong dan memeliharaku), tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; kepadaNya aku berserah diri, dan Dia lah yang mempunyai Arasy yang besar.”
( At Taubah 128~129)
Ya Allah, seram sejuk diri ini, sebak dada ini.. menitis air mata ini...
Allah.. Ya Rabbana..
Ya Rasulullah, kami merinduimu, mencintaimu.
“Ya Rabbi solli ‘ala Muhammadya Rabbi solli ‘alayhi wassalim, ya Rabbi solli ‘ala Muhammad, ya Rabbi solli ‘alayhi wassalim,”.....
No comments:
Post a Comment